KATEGORI

Tampilkan postingan dengan label FILSAFAT ILMU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FILSAFAT ILMU. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Desember 2011

Struktur pengetahuan Ilmiah

Pada hakikatnya pengetahuan ilmiah suatu disiplin keilmuan yang dapat dibedakan antara pikiran dasar yang melandasi suatu pemikiran dan tubuh pengetahuan teoritis yang dibangun diatas pikiran dasar tersebut. Analisis secara krisis pada hakikatnya ditunjukan kepada dua komponen yang membangun suatu pengetahuan ilmiah yakni, Pertama pikiran- pikiran dasar dan yang kedua tubuh pengetahun toeritis. Dalam teori tertentu pikiran dasar ini dinyatakan secara eksplisit yang sangat memudahkan kita untuk menganalisisnya,akan tetapi pada teori lain hal tersebut dinyatakan secara implisit sehingga kita sendiri harus dapat merumuskannya dengan jelas.
Pikiran dasar itu pada pokoknya terdiri dari postulat, asumsi,dan prinsip.
1. Postulat
Merupakan anggapan tentang suatu objek yang merefleksikan sudut pandang tertentu. Anggapan ini tidak terkait dengan kreteria benar atatu salah melainkan dengan setuju atau tidak setuju dengan postulat yang diajukan. Wawasan nusanatara, umpamanya adalah postulat bangsa Indonesia dalam memandang keberadaannya dalam bertanah-air berbangsa, dan bernegara. Disebabkan oleh hakikatnya maka posulat merupakan anggapan yang tidak perlu diveripikasi secara enperis untuk menentukan benar atau salah. Kalau memang ini dapat diterima maka pernyataan ini membutuhkan rincian yang lebih jauh lagi sebab pengetahuan itu sendiri mempunyai dua komponen utama yakni ranah pengetahuan dan substansi pengetahuan. Ranah pengetahuan ada tiga aspek yakni kognitif (pemahaman), afektif (apresiasi),dan konoaktif (psikomotorik/ keterampilan). Sedangkan substansi pengetahuan terdiri dari tiga kawasan pula yakni etika ( pengetahuan yang membedakan baik dengan buruk) dan estetika ( pengetahuan yang membedakan antara ingdah dengan jelek). Postulat merupakan sudut pandang yang spesifik dari seorang ilmuwan dalam membangun tubuh pengetahuan teoretisnya. Setiap disiplin keilmuan mempunyai kemampuan ponstulat yang khas yang berbeda dengan disiplin keilmuan yang lain disebabkan cara pandang yang berbeda pula. meskipun obyek yang menjadi telaahanya adalah sama.Disamping ponstulat terdapat anggapan lain yang berupa asumsi.
2. Asumsi
Merupakan pernyatan dasar tentang realitas yang menjadi obyek telaahan. Disebakan kaitanya dengan realitas yang bersifat empiris maka pernyataan itu harus diuji kebenaranya. Sering terdapat pendapat dikalangan ilmuan bahwa asumsi sudah tidak usah lagi diuji melainkan diterima begitu saja (taken for graned). Hal ini adalah sangat tidak menguntungkan sebab sebuah asumsi belum tentu benar atau cocok dengan suatu kondisi tertentu. Asumsi yang berbeda akan menghasilkan tubuh pengetahuan yang berbeda pula yang pada giliranya akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ilmu- ilmu social yang ada di Indonesia mengalami kemandekan dan impoten dalam menyelesaikan berbagi permasalahan disebkan ketidak mampuan ilmuan kita untuk menghasilkan posulat dan asumsi yang mencerminkan keadan di Indonesia.Diatas postulat dan asumsi maka di bangun prinsip.
3. Prinsip
Merupakan pernyatan dasar mengenai ‘tindakan’ atau ‘pilihan’ atau proposisi yang telah mapan benar. Prinsip ekonomi, umpanya, yang menyatakan tindakan manusia untuk ‘memperoleh kepuasan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ merupakan dasar atau landasan bagi kegiatan manusia selaku mahkluk ekonomi. Sebagai contoh lain, ‘pemberian obat secara rasional’ mungkin dapat di kategorikan sebagai prinsip dalam ilmu kedokteran. Postulat, asumsi, dan prinsip ini digolongkan sebagai pikiran dasar dari sebuah pengetahuan ilmiah. Diatas pikiran dasar ini di bangun tubuh pengetahuan teoretis yang secara ekstensif mencoba mendeskripsikan, menjelaskan, memperediksikan, dan mengontrol berbagai gejala dari obyek telaahan sebuah disiplin keilmuan. Untuk mengembangkan tubuh pengetahuan teoritis ini sebuah disiplin keilmuan ‘meminjam atau menerapkan’ unsur pengetahuan dari berbagai disiplin ke ilmuan yang lain. Ini adalah hal yang wajar yang biasa di lakukan. Masalahnya bahwa sebuah di siplin ke ilmuan yang mandiri harus bisa menentukan pengetahuan mana yang bersifat ‘khas milik disiplinya’ dan mana yang di pinjam atau di terapkan’ dari disiplin keilmuan yang lain. Sebuah disiplin keilmuan yang mandiri harus mempunyai perangat pikiran dasar utama yang bersifat khas yang memberikan ‘payung’ atau ‘kerangka konsetual yang bersifat makro’. Kerangka konseptual yang bersifat makro ini di kembangkan pada tingkat tubuh pengetahuan teoritis yang bersifat khas pula. Baru dalam mengisi kerangka konseptual yang bersifat makro ini kita dapat meminjam atau menerapkan unsur pengetahua dari disiplin lain sesuai dengan kebutuhan. Ilmu ‘manajemen, umpanya, meminjam teori motivasi dari psikologi untuk mengkaji hubungan antara kebutuhan dan tindakan manusia dalam konteks manajemen. Demikian pula ilmu keperawatan meminjam unsur pengetahuan dari mikrobiologi sebagai dasar bagi tindakan keperawatan yang bersifat higienis. Dipihak lain ilmu ke dokteran meminjam pengetahuan dari mikrobiologi untuk tujuan yang lain umpanya untuk diagnosis dan terapi. Hal ini dapat memberi gambaran bahwa pinjam-meminjam antara pengetahuan adalah biasa dan tidak menimbulkan anarki serta kebingungan selam kita bisa mengidentipikasikan kerangka konseptual makro yang merupakan payung bagi penyusunan tubuh pengetahuan teoritis masing-masing.

Tubuh pengetahuan teoritis terdiri dari: deskripsi, eksplansi, prediksi, dan kontrol.

Dimensi Aksiologi

A. Pengertian Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga. Logos artinya akal, penalaran. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai-nilai yang diinginkan atau teori tentang nilai yang baik dan dipilih. Dalam pemikiran filsafat yunani, studi mengenai nilai ini mengedepan dalam pemikiran plato mengenai ide tentang kebaikan. Atau yang lebih dikenal dengan summum bomum (kebaikan tertinggi).
Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan.
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.

Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
B. Fungsi Aksiologi
Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan dan teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi antara lain :
1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan menemukan kebenaran yang hakiki.
2. Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis, tidak mengubah kodrat manusia, dan tidak merendahkan martabat manusia.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta memberikan keseimbangan alam lewat pemanfaatan ilmu.
C. Permasalahan Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi :
1. Sifat Nilai
Sifat nilai atau paras nilai didukung oleh pengertian tentang pemenuhan hasrat, kesenangan, kepuasan minat, kemauan rasional yang murni. Dan segala pengalaman yang menunjang peningkatan nilai atau mutu kehidupan. Dengan kata lain, paras nilai adalah pertalian yang erat antarasesuatu sebagai sarana untuk menuju ke titik akhir atau untuk menuju kepada tercapainya hasil yang sebenarnya.
2. Tipe Nilai
Didalam tipe nilai ada dua yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai interinsik adalah nilai yang terdapat pada diri sendiri sebagai martabat diri. Yang tergolong ke dalam nilai intrinsik yaitu kebaikan dari segi moral, kecantikan, keindahan, kesucian, dan kemurnian. Nilai instrumental adalah nilai penunjang yang menyebabkan sesuatu memiliki nilai intrinsik. Penerapan tipe nilai tersebut dapat diarahkan untuk menilai pentas drama, karya seni, karya ilmiah. Sasaran penilaian tersebut dapat dikalsifikasikan menjadi “Sangat Baik”, “Baik”, “Kurang Baik” dan sebagainya.
3. Kriteria Nilai
Kriteria nilai untuk menguji kadar nilai berdasarkan teori psikologi dan teori logika. Penganut aliran yang disebut naturalis beranggapan bahwa kelestarian hiduplah yang dapat dijadikan tolok ukur penilaian. Sedangkan John Dewey dan pengikutnya beranggapan bahwa keseimbanganlah yang dijadikan tolok ukurnya.
4. Status Metafisika Nilai
Status metafisika nilai mempunyai nilai hubungan yang subjektiv, objektif logis serta objektif metafisik.
D. Akisiologi dan Nilai
Sumber-sumber kemampuan kejiwaan terutama terdiri akal, kehendak, dan rasa. Persoalan hidup manusia terutama berhubungan dengan masalah moral sehingga juga akan selalu berhubungan dengan masalah sumber moral, yaitu kebaikan. Sumber kemampuan kejiwaan yang mampu menangkap nilai kebaikan adalah kehendak.
Persoalan nilai sebenarnya telah dibahas sejak zaman Yunani kuno. Tetapi belum dirumuskan secara sistematik. Persoalan tentang nilai kebaikan ini mulai dirumuskan secara sistematis pada abad ke-19. Plato mengemukakan pendapat tentang ide tertinggi. Persoalan tentang nilai juga mendapat perhatian dari Aritoteles, kaum Stoa, Thomas Aquinas, Immanuel Kant, Spinoza. Tetapi belum menjadi kajian yang sistematik. Nilai kebaikan mulai dihubungkan ddengan fakta dan masalah-masalah kongrit kehidupan manusia, sehingga persoalan tentang nilai kebaikan tidak dapat dilepaskan dari persoalan tentang nilai kebenaran (kenyataan) dan keindahan.
Aksiologi sebagai cabang filsafat dikenal mulai abad ke 19. Dan penemuan cabang aksilogi “tersebut dipandang sebagai The Greates Philosophical achievement of the 19 Th Century”. Yang pada akhirnya dikembangkan menjadi suatu studi khusus yang bersifat filosofis dan psikologis.
Beberapa batasan tentang nilai yang diajukan oleh para ahli (Nicholas Rescher, 1969:2) sebagai berikut :
1. Suatu benda atau barang memiliki nilai atau bernilai, apabila orang menginginkannya kemudia berusaha atau menambah keinginan untuk memikirkannya (Geoge Lundbreg).
2. Nilai adalah suatu yang menimbulkkan penghargaan (Robert Part and E.W. Burgess).
3. Nilai adalah dorongan untuk memperhatiakn objek, kualitas, atau keadaan yang dapat memuaskan keinginan (Richard T.La piere).
4. Nilai adalah suatu objek dari setiap keinginan (Howard Becker).
5. Nilai adalah harapan atau setia keinginan atau dipilih oleh seseorang, kadang-kadang dalam praktek : apa yang diinginkan oleh sesesorang (stuart C. Dodd).
6. Nilai adalah narti yang diberikan atau yang diikuti dalam perbuatan berdasarkan dari hasil pengamatan empiric para warga masyarakat (florjan Znaniceki).
7. Nilai adalah konsep eksplisit atau implicit yang berbeda dari setiap orang atau kelompok. Keinginan dalam mengadakan pilihan tentang arti perbuatan dan tujuan perbuatan (Clyde Kluckhohn).
8. Nilai adalah dasar-dasar keinginan bernegara yang mengatur bagi perbuatan manusiaan atau pedoman-pedoman umum perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat (Neil j. Smelser).
Pendapat tentang nilai diatas menunjukkan adanya pengertian nilai yang bersifat subjektif dan pengertian nilai yang bersifat objektif. Pada umumnya pandangan-pandangan tentang nilai lebih sintetis. Seperti pendapat Brennan (1953 : 251), bahwa nilai adalah kualitas yang dipahami dalam estetika, etika, moral dan pengalaman religious, bukanlah murni pandangan pribadi terbatas pada lingkungan manusia. Nilai merupakan bagian dari keseluruhan situasi metafisik dialam semerta seluruhnya (bukan hanya bagian dari manusia). Sedangkan pendapat Langeveld (1970:196) menjelaskan, bahwa nilai adalah sifat atau barang yang hanya dapat mempunyai hubungan dengan subjek yang tahu tentang nilai.
Persoalan didalam aksiologi
Persoalan yang mendasar dalam bidang Aksiologi muncul dalam kehidupan dengan bidang yang berbeda-beda. Persoalan aksiologi dapat muncul dalm bidang etis, estetis, maupun dalam bidang religius. Frondizi (1963:11) berpendapat bahwa persoalan pokok aksiologi mencangkup tentang nilai subjektif dan nilai objektif, metode memperoleh nilai, dan wujud nilai.
a. Nilai subjektif dan nilai objektif
Argumentasi yang diajukan oleh kaum subjektivisme, apabila nilai itu subjektif, maka pendapat tiap-tiap individu pasti akan sampai kepada satu kesepakatan tentang nilai tersesbut. Kehidupan sehari-hari menunjukan bukti yang tidak selalu seragam. Subjektivisme mengatakan bahwa perbedaan pendapat disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa tiap-tiap individu memiliki selera sendiri-sendiri (Frondizi, 1963:19).
Argumentasi yang dikatakan oleh kaum objektivisme bahyhwa kebenaran tidak bergantung pendapat individu, melainkan tergantung pada objektivitas fakta (Frondizi, 1963:19). Kehidupan sehari-hari membuktikan bahwa pendapat orang yang berselera rendah tidak akan mengurangi keindahan sebuah karya seni. Ketidak sepakatan mengacu pada benda bukan kepada nilai.
Cara baru yang diajukan oleh Frondizi (1963:20) untuk mengatasi perbedaan dari kedua pandangan diatas adalah : Nilai merupakan hasil interaksi antara objek debgan subjek. Aspek subjektivisme lebih tepat ditereapkan dalam persoalan yang lebih kongkret seperti : kenikmatan makan. Aspek objektivisme lebih tepat diterapkan pada persoalan yang lebih abstrak seperti : yang berkaitan dalam bidang moralitas, keadilan dan kewajiban.

b. Metode menentukan nilai
Ada dua macam metode yang berkaitan dengan masalah nilai, yaitu metode emperis dan metode apriori. Metode empiris dengan mengunaka pengalaman dapat menghasilakan bukti bahwa seseorang dapat menyenangi atau tidak menyenangi hal tertentu karena pertimbangan nilai. Metode apriori dengan menggunakan persepsi akali dapat menghasilkan pengetahuan yang pasti tentang nilai (Frondizi, 1963:24).

c. Wujud nilai
Frondizi berpendapat (1963:28) bahwa akal tidak menangkap nilai, karena akal tidak memiliki semacam hubungan langsung dengan nilai. Nilai-nilai ini menyatakan diri kepada manusia melalui intuisi emosional. Intuisi itu tidak perlu mendasarkan diri kepada pengalaman yang mendahuluinya, juga tidak perlu mendasarkan diri pada pemawa nilai yang sesuai. Nilai tersaji kepada intuisi secara jelas dan tegas, meskipun tanpa pembawa nilai.
Deeken (1974:17) menjelaskan, bahwa meskipun nilai iu melekat pada sesuatunya. Namun nilai-nilai itu merupakan kenyataan yang sungguh-sungguh ada. bukan yang hanya secara subjektif dianggap ada. Walaupun nilai itu tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan, namun tidak sama sekali tergatung pada kenyataan-kenyataan lain tersebut. Meskipun kenyataan lain yang membawa nilai-nilai itu berubah dari waktu kewaktu. Tetapi nilai-nilai itu sendiri bersifat mutlak tak berubah.

Nilai dan fakta
Nilai dan fakta tidak sepenuhnya sama. Nilai didalamnya mengandung hal-hal yang didambakan atau dicita-citakan, yang bersifat normative. Fakta didalamnya mengandung pernyataan yang dapat memastikan adanya sesuatu objek, yang sifatnya kognitif. Titus (1984:121) berpendapat, bahwa fakt dan nilai tidak dapat dipisahkan. Karena fakta merupakan realissi dari harapan dan cita-cita yang terkandung didalam nilai.

Klasifikasi nilai
Nicnolas Rescher (1969:14-19) mengajukan klasifikasi nilai meliputi :
1. Klasifikasi nilai berdasarkan pengakuan. Klasifikasi ini menjelaskan tentang pengakuan nilai. Contoh : nilai profesi, nilai kesukuan, dan nilai kebangsaan.
2. Klasifikasi nilai berdasarkan objek yang dipermasalahkan. Klasifikasi ini menjelaskan tentang cara mengefaluasi suaru objek dengan berpedoman pada suatu sifat tertentu dari objek yang dinilai. Contoh : manusia dinilai dari segi kexerdasannya, dan bangsa dililai dari segi keadilan aturan hukumnya.
3. Klasifikasi nilai berdasarkan atas keuntungan yang diperoleh klasifikasi ini menjelaskan tentang cara untuk mengolongkan nilai menurut sifat keuntungan yang dipermasalahkan yaitu menurut keinginan, kebutuhan dan kepentingan atau minat seseorang yang diwujudkan dalam kenyataan. Contoh : nilai ekonomi, maka keuntungan yang diperoleh berupa produktivitas.
4. Klasifikasi berdasarkan tujuan yang akan dicapai. Klasifikasi ini menjelaskan tentang cara mengklasifikasikan nilai berdasarkan pada tipe tujuan tertentu yang akan dicapai dengan realisasi keadaan yang dinilai. Contoh : nilai tukar saham.
5. Klasifikasi nilai berdasarkan hubungan antara pengemban nilai dengan keumtumgan.
6. Klasifikasi nilai berdasarkan hubungan yang dihasilkan oleh nilai itu sendiri dengan hal-hal yang lebih baik. Contoh : sifat hemat diklasifikasikan lebih rendah daripada kemakmuran dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Hubungan antara Nilai dan Budaya
Wisnu Trihanggoro (1994:50) memberikan contoh tentang kesamaan konsep ukuran nilai yang terjadi didalam masyarakat. Misalnya kesamaan ukuran nilai sesama orang jawa dalam menilai unggah-ungguh. Kondisi demikian tentunya akan terjadi sebaliknya apabila objek yang sama dinilai oleh orang-orang yang datang dari lingkungan budaya yang berbeda.

Ilmu Pengetahuan dan Nilai Hidup
Manusia mempunyai alat-alat untuk mencapai kebenaran, sehingga kebenaran dapat diraih. Alat-alat tersebut terdiri dari kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
1) Indera, merupakan kemampuan untuk menangkap kebenaran secara fisik.
2) Naluri, kemampuan untuk mempertahankan hidup.
3) Akal, kemampuan untuk memahami hubungan sebab akibat dari sebuah keputusan.
4) Rasa, kemampuan khas manusia yang berupa khayalan atau menangkap keindahan realitas.
5) Karsa, kemampuanuntuk memahami martabat kemanusiaanny sebagi makhluk kerohanian yang mengatasi kepentingan jasmaniah.

Struktur Pengetahuan Ilmiah
Analisis secara kritis ini pada hakikatnya menunjukan pada dua komponen yang membangun suatu pengetahuan ilmiah. Pertama, pikiran-pikiran dasar yang melaqndasi penyusunan suatu pengetahuan ilmiah. Kedua, tubuh pengetahuan teoritis yang dibangun atas kerangka landasan pikiran tersebut. Untuk tujuan analisis kritis sebaiknya kita menguraikan teori ilmiah kedalam dua unsure tersebut.

Dimensi Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “episteme” yang artinya pengetahuan, dan ‘
“logos” yang artinya teori . jadi epistemologi dapat didefinisikan sebagai dimensi yang mempelajari asal mula
Pengetahuan adalah segla yang dapat diketahui manusia hasil dari proses tindakan manusia berfikir dengan melibatkan seluruh keyakinan berupa kesadaran yang ingin diketahui. Dengan demikian dapa disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil dari proses mengenal karena adanya hubungan antara subjek yang sadar akan objek yang ingin dikenal.

1. Fungsi Epistemologi
Epitemologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan legistimasi bagi suatu “ilmu pengetahuan” untuk diakui sebagai disiplin ilmu atau menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu. Dengan demikian epistemologi juga memberikan kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Problematika dalam epistemologi
Pengetahuan yang berdasarkan ide (idealisme) mengandung implikasi pendekatan yang rasionalisme. Sementara rasionalisme menggunakan pendekatan empiristik. Lebih lanjut sifat metode idealisme lebih menekankan aspek deduktif yng terimplikasi dalam premis-premis, yaitu premis mayor

Pengetahuan yang berdasarkan empiris memandang pengetahuan itu dari sudut induktif, sehingga untuk mencpai kebenarannya pengetahuan didasarkan realitas

Kedua penekatan yang antagonistik itu berlanjut terus dalam sejarah filsafat walau aliran kritisme mencoba menengahinya. Kritise memandang bahwa pengetahuan rasional maupun pengetahuan empirikadalah benar dalam batas-batas tertentu.

3. Epistemologi dalam masalah akual
Landasan epistemologi ilmu adalah menyakut cara berfikir keilmuan berkenan dengan kriteria apa agar sampai pada kebenaran ilmiah. Dengan kata lain , yang dibicarakan dalam epistemologi ilmu adalah suatu cara berpikiran ilmiah. Sesuai denan perkembanganya ilmu berkembang melalui cara
a. Ilmu rasional
b. Ilmu rasional empirik
c. Ilmu rasional empirik eksperimental


Metodologi
Metode merupakan jaminan kulitas dari produk. Bahkan metode ini menjadi jaminan legitimasi dari produk. Karena itu metode juga menjadi alat atau wahana pertanggung jawaban dan nilai kualitas dari produk tersebut.

Dimensi aksiologis

Dimensi Ontologis

Istilah “Ontologi” berasal dari kata Yunani “Onto” yang berarti “Sesuatu yang sungguh-sungguh ada / kenyataan yang sesungguhnya” dan “Logis” yang berarti “Studi tentang atau studi yang membahas sesuatu”. Jadi Ontologi adalah studi yang membahas sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Sedangkan secara termologis ontologi berarti sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang terdalam.
Ontologi memiliki 2 objek yaitu objek material ontologi yang berarti segala-galanya, yang meliputi yang ada sebagai wujud konkret maupun abstrak, inderawi maupun tidak inderawi, dan objek formal ontologi yang berarti memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan. Dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya.
1. Fungsi Ontologi
Fungsi atau manfaat dalam mempelajari ontologi antara lain :
a. Sebagai refleksi kritis atau objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi atau postulat-postulat ilmu. Ilmu memiliki asumsi-asumsi, postulat-postulat yang sudah tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Seperti dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar ada.
b. Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren. Ilmuwan dalam hal ini tidak mampu mengintegrasikan pengetahuannya tersebut dengan pengetahuan ontologi membantu ilmuwan menyusun pandangan dunia yang komprehensif.
c. Ontologi membantu memecahkan masalah-masalah yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Seperti terjadinya konflik perebutan bidang kajian, misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi. Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu pemetakan batas-batas kajian ilmu.
2. Problematika Ontologi
Pada intinya problematika ontologi adalah problematika tentang ada suatu keberadaannya. Seperti masalah kuantitas (jumlah) dan susunan dari keberadaan atau eksistensi kualitas (sifat). Permasalahan inilah akhirnya melahirkan tiga aliran ontologi yaitu monoisme, dualisme dan pluralisme.
Monoisme adalah aliran ontologi yang beranggapan hakikat yang ada itu tunggal. Dualisme adalah aliran Ontologi yang beranggapan hakikat yang ada itu tunggal. Dualisme adalah aliran ontologi yang berpandangan bahwa hakikat yang tersusun ada dua unsur utama dan pluralisme adalah aliran ontologi yang berpandangan bahwa hakikat yang ada itu jamak.
Kedua, permasalahan tentang sifat atau mutu dari yang ada, melahirkan dua aliran yaitu aliran materialisme yang beranggapan hakikat yang ada bersifat spiritual atau rohaniah.
Ketiga, permasalahan tentang yang ada ditinjau dari prosesnya telah melahirkan empat aliran yaitu aliran mekanisme yaitu aliran pemikiran yang berpandangan bahwa yang ada itu bergerak berdasarkan asas-asas mekanik. Teleologisme adalah aliran pemikiran yang berpandangan bahwa segala kenyataan yang ada itu tidak semata-mata karena suatu hukum sebab-akibat, namun ada tujuan tertentu. Vitalisme yaitu aliran pemikiran yang berpandangan bahwa hakikat kenyataan tidak semata-mata terdiri dari unsur fisika kimiawi semata, namun juga ada asas hidup atau dalam istilah Bergson adanya dan vital, dan organisme adalah aliran pemikiran yang memandang kenyataan hidup merupakan suatu struktur yang dinamik.
3. Landasan Ontologi bagi Dunia Keilmuan
Secara umum relevansi ontologi bagi ilmu adalah bahwa ontologi dapat dijadikan dasar merumuskan hipotesis-hipotesis baru untuk memperbaharui asumsi-asumsi dasar yang pernah digunakan. Ontologi juga merupakan sarana ilmiah menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah.
Landasan ontologi relevan bagi dunia keilmuan dewasa ini antara memberikan landasan bagi asumsi keilmuan dan membantu terciptanya implikasi interdisipliner atau multidisipliner. Artinya ontologi membantu kenyataan. Misalnya fenomena krisis moneter yang melanda Indonesia dewasa ini yang tidak dapat ditangani oleh ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ekonomi.
Ontologi juga relevan dalam merefleksikan problem pembangunan. Pembangunan selama ini terbukti belum dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kegagalan ini tidak terlepas dari konsep ontologi yang dilandasi konsep pembangunan di Indonesia yang lebih didominasi oleh pandangan positivitik. Refleksi dalam hal ini membantu kita memahami kenyataan yang tidak semata-mata seperti yang digambarkan oleh positivisme tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa dimensi ontologi merupakan bagian dari kajian ilmu pengetahuan tentang eksistensi ilmu pengetahuan. Dimensi ontologi memberikan dasar yang damental terhadap konsistensi pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan. Landasan ontologi membawa implikasi bagi landasan Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga landasan ini senantiasa terkait dan saling mempengaruhi.

DIMENSI KEILMUAN

A. Hakikat Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan pada awalnya suatu sistem yang dikembangkan manusia untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam rangka strategi hidupnya. Ilmu pengetahuan pada awalnya diciptakan dan dikembangkan untuk membuat hidup manusia lebih mudah dan lebih nyaman untuk dinikmati, artinya ilmu diciptakan dan dikembangkan sebagai sarana untuk membantu manusia meringankan beban kehidupannya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, khususnya pada abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, ilmu tidak lagi sebagai sarana kehidupan bagi manusia, tetapi telah menjadi substantif yang menguasai kehidupan umat manusia baik secara ekstensif maupun intensif. Cara kerja ilmu adalah cara kerja berpikir manusia yang mempertanyakan tentang seluk-beluk ilmu pengetahuan. Manusia berpikir maka manusia menguasai ilmu. Ilmu berkembang dan makin bermanfaat bagi manusia berkat kemampuan manusia. tanpa kemampuan berpikir manusia, maka ilmu tidak mungkin tumbuh, berkembang, dan bermanfaat. Selain manusia dikaruniai akal untuk berpikir, manusia dikaruniai hasrat ingin tahu dan rasa ketidakpuasan. Hasrat ini diwujudkan dengan bertanya-tanya tentang dunia. Bertanya adalah wujud dari rasa ingin tahu.

Melalui sejarah perkembangan ilmu, kita dapat memahami makna kehadiran ilmu bagi umat manusia. Sejarah perkembangan ilmu itu sendiri merupakan suatu tahapan yang terjadi secara periodik. Setiap periode menampilkan cirri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Mohammad Hatta menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu lahir karena manusia dihadapkan pada dua masalah, yaitu alam luaran (kosmos) dan soal sikap hidup (etik). Ilmu-ilmu alam senantiasa memandang alam dari satu jurusan melalui ukuran atau metode dan saran tertentu dengan peninjauan tertentu pula. Ilmu alam mencari keterangan mengenai benda-benda di alam yang dapat diketahui dengan pancaindera. Cabang-cabang ilmu alam muncul pertama kali adalah ilmu perbintangan (astronomi) disusul matematik yang merupakan sarana berpikir. Kemudian disusul ilmu fisika, kimia, botani zoology, ilmu bumi dan lain-lain. Pada awalnya ilmu-ilmu itu hanya bersifat teoritik, manusia semata-mata ingin mengetahui sifat-sifat benda dan kodrat alam. Ketika manusia menerapkannya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupannya, maka timbullah ilmu-ilmu praktik seperti: teknik, agraria, kedokteran, dan lain-lain. Ilmu sosial timbul karena manusia menyadari akan adanya masalah dalam hubungan manusia di dalam suatu masyarakat.

Seorang berfilsafat diumpamakan seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. ia ingin melihat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, kaitan ilmu dengan moral, dan kaitan ilmu dengan agama. Karakteristik berpikir filsafat yang kedua adalah sifat mendasar. Dia tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Apakah criteria kebenaran itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti sebuah lingkaran yang melingkar. Lalu bagaimana menentukan titik awal untuk membuat lingkaran tersebut? Dalam hal ini kita hanya berspekulasi. Inilah cara berpikir filsafat yang ketiga, yaitu spekulatif. Pada tataran ontology, ilmu pengetahuan adalah hasil proses kegiatan refleksi ilmuan atau pemikir dalam mengahadapi masalah yang menyangkut dirinya sendiri maupun lingkungannya.

Sarana berpikir filsafat berupa pertanyaan reflektif untuk mempertanyakan kembali jawabannya. Ada beberapa macam proses kegiatan refleksi, yaitu;
1. Kegiatan refleksi spekulatif, merupakan kegiatan pokok dalam berfilsafat. Berarti membuat dugaan-dugaan yang masuk akal yang dapat dipertanggung-jawabkan mengenai sesuatu yang tidak berdasarkan bukti. Ini merupakan kegiatan akal manusia yang dengan melalui kemampuannya dalam imajinasi yang berdisiplin untuk menghadapi secara efektif persoalan-persoalan filsafat yang menantang akal.
2. Kegiatan refleksi deskripsi, adalah suatu uraian yang terperinci mengenai suatu yang terdiri dari aspek-aspeknya yang penting. Berarti memberikan keterangan bagaimana hal itu terjadi. Dengan demikian keterangan dapat dipandang sebagai tujuan langsung dari suatu deskripsi.
3. Kegiatan refleksi analisis, dimaksudkan sebagai penjelasan arti istilah-istilah yang menjadi dasar pada penyelidikan filsafat. Gilbert Ryle dan Moris Schlick menganggap analisis sebagai fungsi yang tunggal dan menyeluruh dari filsafat harus didefinisikan sebagai pencarian arti atau kegiatan menemuksn srti. Menurut konsepsinya filsafat adalah suatu kegiatan, kegiatan mental tentang penjelasan gagasan-gagasan dengan suatu analisis terhadap arti-arti.
4. Kegiatan refleksi evaluasi, merupakan penaksiran tentang sifat nilai yang melekat pada suatu hal. Memberi nilai berarti menetapkan patokan-patokan nilai dan pertimbangannya. Hasil-hasil pertimbangan tersebut menjadi pedoman bagi pilihan-pilihan yang dibuat oleh manusia.
5. Kegiatan refleksi komprehensif, adalah kegiatan mengerti dengan sungguh-sungguh tentang masalah, fakta, dan gagasan. Pemahaman dapat dicapai melalui lima cara, yaitu (1) menyatukan dan menghubung-hubungkan berbagai fakta atau gagasan, (2) mendeduksikan sesuatu dari premis-premis, (3) menyesuaikan berbagai fakta baru dengan pengetahuan yang mapan, (4) meninjau gagasan dalam hubungannya dengan ketepatan dan kepentingannya, dan (5) menghubungkan suatu fakta dengan sesuatu yang diketahui, universal, dan terikat pada kaidah.
6. Kegiatan refleksi penafsiran, merupakan kegiatan akal untuk memberikan arti pada pengalaman manusia. Tujuannya adalah dapat dipahaminya sesuatu yang dialami manusia. Melalui penafsiran dan mungkin penafsiran kembali suatu pengalaman atau peristiwa dapat memperoleh pemahaman rasional yang sempurna, dapat dinilai secara benar.

Semua kegiatan refleksi yang sudah dikemukakan itu merupakan aspek ontologi dari ilmu pengetahuan baik sebagai proses proses maupun sebagai produk. Secara sederhana, ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan. Tetapi kumpulan pengetahuan tidak sama dengan ilmu pengetahuan. Hanya kumpulan pengetahuan yang memiliki syarat-syarat tertentu yang dapat dikatakan ilmu pengetahuan. Mencari ilmu secara jelas dan khas merupakan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh para ilmuan untuk memperoleh pengetahuan. Rangkaian aktivitas ini menggunakan pikiran yang menyangkut pengertian dan pemahaman, serta mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang mengarahkan aktivitas. Tujuan umum yang ingin dicapai oleh para ilmuan adalah mencapai kebenaran mengenai sesuatu hal. Kebenaran tersebut bagi para ilmuan akan memberikan pemahaman mengenai alam semesta, tentang dirinya sendiri, lingkungan dan masyarakat. Ilmu juga diarahkan pada tujuan penerapan, yaitu melaksanakan berbagai pengetahuan yang telah diperoleh untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Ada tiga arti mengenai ilmu pengetahuan, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan sebagai produk adalah pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenaranya oleh masyarakat ilmuan. Pengetahuan ilmiah terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan-kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, atau dibantah oleh seseorang.
2. Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang dipakai adalah analisis rasional objektif, sejauh mungkin bersifat impersonal dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang diamati.
3. Ilmu pengetahuan dalam masyarakat adalah dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan, yaitu universal, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme. Universal berarti bahwa ilmu pengetahuan itu bebas dari warna kulit, ras, keturunan maupun keyakinan agama. Komunalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan merupakan milik masyarakat. Tanpa pamrih berarti ilmu pengetahuan bukan propaganda. Skeptisisme yang teratur berarti keinginan untuk mengetahui dan bertanya didasarkan pada nalar dan keteraturan berpikir.

Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu pengetahuan, yaitu; (1) Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren. Itu berarti adanya system dalam penelitian maupun harus tersusun logis. (2) Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuan. (3) Universal ilmu pengetahuan. (4) Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif. (5) Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan. (6) Progresivitas artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi. (7) Kritis, artinya tidak ada teori terbuka bagi ilmiah yang difinitif, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru. (8) Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis.

Filsafat ilmu merupakan telaahan melalui proses tanya jawab secara radikal tentang ilmu. Misalnya :
Apakah bahsa itu? Bagaimana wujud hakiki dari bahasa? Bagaimana jenis dan ragam bahasa? terdiri dari unsure apa sajakah bahasa? Bagaimana bagian-bagiannya?
Apakah bahasa wujud yang dapat diajarkan? Bagaimana memahami kemahiran bahasa sebagai sarana dan bahasa sebagai ilmu? Bagaimana pendekatan< metode, dan cara mempelajari bahasa?
Untuk apa bahasa dipelajari dan apa manfaat ilmu bagi manusia? Apakah dengan kemahiran bahasa, manusia dapat menjadi sejahtera, dan masyarakat menjadi aman atau bahkan sebaliknya menjadi tidak aman?

Pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dikelompokkan berdasarkan ntingkat jawaban yang hendak diperolehnya, karena studi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh hakikat jawaban tertentu. Kelompok pertanyaan pertama bertujuan menggali dan memperoleh jawaban tentang apa adanya, baik syarat maupun hakikat adanya sesuatu, tentang keberadaan sesuatu. kelompok pertanyaan kedua hendak menggali hakikat cara bagaimana ilmu pengetahuan itu berkembang, dipelajari, dan dimanfaatkan. Kelompok pertanyaan ketiga hendak mendalami persoalan nilai, manfaat, dan kaidah moral keilmuan bagi manusia. Dengan bahasa sederhana dapat disebutkan yang pertama dimensi tentang ada atau apanya, yang kedua dimensi tentang bagaimana, dan yang ketiga dimensi tentang nilai atau manfaatnya. Istilah filsafatnya dimensi ontologi, dimensi epistemology, dan dimensi aksiologi. Kata dimensi digunakan untuk menunjukkan sudut pandang terhadap sesuatu.